Beranda | Artikel
Ketika Anak Lebih Senang Menyendiri
1 hari lalu

Ketika Anak Lebih Senang Menyendiri merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 11 Shafar 1447 H / 5 Agustus 2025 M.

Kajian Tentang Ketika Anak Lebih Senang Menyendiri

Terlebih lagi jika mereka sudah menyampaikan permasalahannya secara langsung kepada kita, maka tidak ada alasan untuk menunda apalagi menolak memberikan bantuan. Salah satu kondisi yang mengindikasikan bahwa remaja membutuhkan pertolongan adalah ketika mereka mulai menyukai kesendirian dalam waktu yang sangat lama, atau dengan sengaja mengasingkan diri dari lingkungan keluarga maupun pertemanan.

Menyendiri bukanlah sesuatu yang selalu positif. Kesendirian yang dilakukan tanpa dasar ilmu atau tanpa niat ibadah seperti uzlah yang dibenarkan dalam Islam, dapat membuka pintu keburukan. Bisa jadi seseorang menyendiri untuk melakukan dosa atau maksiat. Apalagi bila menyendiri telah menjadi kebiasaan hingga enggan berinteraksi dengan orang lain, serta cenderung memilih tempat-tempat sepi.

Lihat: Talbis Iblis Terhadap Orang-Orang Zuhud dan Ahli Ibadah

Kesendirian remaja yang tidak disertai ilmu rentan dimanfaatkan oleh setan untuk menyesatkan. Bisikan, godaan, dan lintasan pikiran buruk mudah masuk ke dalam pikiran mereka. Hal ini berbahaya karena bisa membuat mereka tenggelam dalam lamunan, fantasi, bahkan halusinasi yang tak terkendali.

Di era digital seperti sekarang, kesendirian hampir selalu ditemani oleh gawai. Mereka tenggelam dalam dunia maya yang dianggap lebih nyaman dan bebas dari tekanan dunia nyata. Sayangnya, dunia maya tidaklah netral. Hampir tidak ada orang yang masuk ke dunia maya lalu keluar tanpa dosa. Minimal, dosa-dosa kecil akan terbawa bersama aktivitas daringnya.

Ketika muncul tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa seorang remaja mulai menyendiri atau menjauh dari lingkungan sosialnya, maka sebagai pendamping dan pendidik, kita tidak cukup hanya menjadi pengamat pasif. Kita perlu mendekat, menjalin komunikasi, dan membuka ruang dialog dengannya.

Sayangnya, dalam banyak rumah kaum muslimin saat ini, meskipun tinggal di bawah satu atap, bahkan berada dalam satu ruangan, komunikasi antaranggota keluarga nyaris tidak terjadi. Mereka tampak bersama secara fisik, namun pada hakikatnya sedang menyendiri. Masing-masing sibuk dengan dunianya sendiri, terutama dengan perangkat digital yang ada di genggaman.

Kondisi ini jauh lebih parah ketika mereka masuk ke kamar masing-masing dan mengunci diri dalam ruang pribadi yang sepenuhnya terputus dari interaksi keluarga. Gadget menjadi teman utama mereka.

Realitas hari ini, anak-anak bertemu orang tuanya tanpa tegur sapa. Kalaupun ada, hanya sekadar ucapan “Assalamu’alaikum” dibalas dengan “Wa’alaikumussalam”, bahkan sering kali tanpa salam dan tanpa kata. Mereka telah membentuk dunia maya sendiri yang menurut mereka lebih menarik dan lebih menyenangkan dibandingkan dunia nyata yang penuh tekanan.

Kondisi ini semakin terlihat ketika satu keluarga berada dalam satu mobil: sang ibu sibuk dengan gawai di kursi depan, anak-anak di belakang bermain ponsel masing-masing, dan ayah menyetir dengan fokus. Meskipun fisik mereka berada dalam satu kabin kecil, mereka hidup dalam dunia yang berbeda. Lucunya, kadang-kadang semua tertawa dalam waktu bersamaan, tetapi karena alasan yang berbeda-beda. Si ibu tertawa karena menonton video pendek, anak-anak tertawa karena bermain game atau yang lain.

Inilah wajah dunia hari ini. Meja makan pun kini lebih sering menjadi formalitas. Banyak keluarga memilikinya, tetapi jarang digunakan. Masing-masing anggota keluarga lebih memilih makan sendiri-sendiri, entah di kamar atau di luar rumah. Kalaupun makan bersama, tak lantas terjadi komunikasi. Banyak yang makan sambil menatap layar ponsel, membaca pesan singkat, bermain game, menonton YouTube, atau membuka media sosial seperti TikTok dan Instagram.

Bagaimana mungkin seseorang bisa peduli dengan sekelilingnya jika ia larut dalam dunia digital? Inilah salah satu penyebab utama anak-anak saat ini lebih suka menyendiri dan cenderung menjadi pribadi yang tertutup—terlebih jika mereka memiliki karakter introvert.

Situasi ini menyulitkan kita untuk memahami kondisi jiwa mereka. Apa yang mereka rasakan? Apa yang mereka pikirkan? Semua tersimpan rapat karena komunikasi terputus.

Dekati dan dampingi dengan lembut

Ajak berbicara anak remaja tanpa langsung menyentuh inti permasalahan. Pendekatan yang terlalu langsung sering kali membuat seseorang merasa urusannya dicampuri, apalagi jika yang dibahas berkaitan dengan privasi. Hal ini bisa membuatnya menghindar, karena secara fitrah manusia tidak suka dipaksa.

Pendekatan yang to the point, seperti langsung bertanya, “Ada apa sebenarnya?”, atau dengan tekanan seperti, “Ceritakan pada Ibu atau Bapak,” bisa menimbulkan kesan intimidatif. Kata-kata semacam itu justru akan meruntuhkan kepercayaan yang mungkin sedang dibangun. Seseorang akan bertanya-tanya dalam hati, “Apa maunya orang ini?” dan akhirnya bersikap defensif.

Manusia secara naluriah tidak ingin diintimidasi. Itulah sebabnya dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

“Tidak ada paksaan dalam agama…” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Ayat ini menegaskan bahwa hakikat manusia memang tidak dapat dipaksa, bahkan dalam urusan agama sekalipun.

Dalam kehidupan sosial pun sama. Ketika seseorang sedang menghadapi masalah, lalu temannya datang dan langsung menyodorkan pertanyaan yang terlalu menukik, respons alami yang muncul adalah penolakan. Apalagi jika pendekatan itu terasa seperti intervensi.

Oleh karena itu, sabar adalah kunci. Bangun komunikasi melalui pembicaraan ringan terlebih dahulu. Bahas hal-hal lain yang tidak berkaitan langsung dengan inti masalah. Setelah hubungan dan kepercayaan terbentuk, barulah pembicaraan diarahkan secara perlahan menuju topik utama. Dengan cara ini, tidak akan muncul kesan intervensi atau rasa ingin tahu yang berlebihan.

Anak yang merasa aman secara emosional akan membuka diri dengan suka rela dan hati yang senang. Ketika anak sudah mulai terbuka, orang tua sering kali tidak siap menyikapinya. Alih-alih mendengarkan dengan empati, mereka justru merespons secara negatif. Bahkan, ada yang merespons secara eksplosif—marah, meledak-ledak—padahal anak sedang berterus terang menceritakan masalahnya.

Dalam situasi seperti ini, orang tua semestinya siap mendengarkan. Masalah manusia itu banyak dan sering kali tak terduga. Ketika anak menyimpan masalah, lalu suatu saat dia mencoba membukanya, maka hati-hati dalam menyikapinya. Jangan sampai keterbukaan anak justru dijawab dengan kemarahan yang membuat dia menutup diri kembali.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55406-ketika-anak-lebih-senang-menyendiri/